Tuesday, February 26, 2013

Deep tunnel: apa kabarnya?



Oleh: Ris Sukarma
Deep Tunnel (pinoydigest.com/Tempo online)
Isu pembangunan multi-purpose deep tunnel atau terowongan raksasa multiguna di Jakarta kembali muncul. Apalagi setelah banjir besar kembali melanda Jakarta pertengahan Januari yang lalu, dan Gubernur Jokowi kelihatannya tertarik dengan konsep ini dan memutuskan untuk segera membangunnya.



Deep tunnel sebenarnya bukan barang baru. Konsep ini pernah menarik perhatian Bang Yos pada pada 2007, yang waktu itu dipaparkan oleh Badan Regulator Jakarta. Pada waktu era kepemimpinan Bang Foke, gagasan ini juga pernah dibahas berkali-kali, tapi masih tetap sebatas wacana, Foke sendiri yang mengatakannya pada waktu itu. Peran Dr. Firdaus Ali, yang merupakan penggagas utama, amat besar dalam pengenalan konsep ini, bukan saja karena dia mendalami konsep dan teknologinya, akan tetapi juga dia meyakini benar bahwa gagasannya itu layak dan pantas untuk dilaksanakan. “Kita menerapkan ini, berarti lompatan 100 langkah ke depan dibanding negara-negara lain.” ujar Firdaus sebagimana dikatakannya pada Tempo, 13 Januari 2013 yang lalu.

Meskipun sekarang Gubernur Jokowi sudah mencanangkan akan membangunnya, terowongan raksasa ini tetap mengundang kontroversi, baik dari fihak yang mendukungnya, maupun menentangnya. Deep tunnel memang memiliki beberapa keuntungan. Pertama, karena dibangun  jauh dibawah tanah, maka isu pembebasan tanah menjadi tidak ada. Selain itu, deep tunnel yang akan dibangun di Jakarta dirancang memiliki lima fungsi sekaligus, bandingkan dengan SMART tunnel-nya Malaysia yang hanya memiliki dua fungsi. Ke lima fungsi tersebut adalah sebagai pengendali banjir, jalan tol, sistem utilitas kota, pembuangan limbah kota dan terowongan air bawah tanah. Dengan perkiraan biaya sebesar 16,4 trilun rupiah, pembangunan deep tunnel masih lebih murah dibandingkan kerugian finansial akibat banjir, yang bisa mencapai puluhan trilyun rupiah, belum lagi kerugian sosial dan penderitaan masyarakat yang terkena dampak banjir.   



Bagi fihak-fihak yang menentangnya, pembangunan deep tunnel memang dirasakan perlu, tapi tidak sekarang. Menurut pengamat transportasi Darmaningtyas, pembangunan deep tunnel saat ini belum diperlukan. Ada cara sederhana untuk menyelesaikan persoalan banjir di Jakarta yakni seperti melakukan revitalisasi sungai dengan mengeruk tanahnya, katanya sebagaimana dikutip Okezone (6/1). Namun, tidak berarti dia tidak setuju, pembangunan itu bisa dilakukan setelah revitalisasi dilakukan dan terbukti memang tidak bisa mengatasai banjir.



Amien Widodo dari LPPM ITS mengatakan, pembangunan deep tunnel sebagai pengendali banjir di Jakarta akan gagal apabila penyebab utama masalah banjir, seperti sedimentasi dan pembuangan sampah sembarangan belum teratasi. Bahkan dia mengatakan deep tunnel akan menciptakan masalah baru. Hal ini dikatakannya pada Kantor Berita Antara hari Kamis minggu lalu (21/2).



Hari ini (Selasa 26/2), Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, sebagaimana dikutip detik.com, menyatakan bahwa sulit membangun terowongan raksasa di Jakarta. Kesulitannya terletak pada jenis tanah di beberapa bagian di Jakarta yang lembek (soft) sebagaimana hasil penelitian para ahli geologi.



Sebenarnya, bagaimana sih prospek pembangunan deep tunnel ini? Apakah benar-benar akan dibangun, atau kembali mundur lagi jadi wacana? Secara pribadi, saya setuju deep tunnel ini dibangun, lebih cepat lebih baik, tapi dengan beberapa catatan yang akan saya sampaikan pada akhir tulisan ini.



Saya kebetulan ketemu Firdaus Ali pertengahan Januari lalu di Pameran PERPAMSI di Jakarta, dan saya sekilas menyinggung hal ini. Dia katakan baru ketemu Menteri PU dan jajarannya dari Ditjen Sumber Daya Air, dimana dia ‘diserang’ dari semua penjuru. Saya terus terang ikut bangga juga, teman kita TL lulusan 1988 ini barangkali satu-satunya orang yang berani berfikir jauh kedepan, dan konsisten memperjuangkan apa yang menjadi keyakinannya. Dengan modal pengetahuannya yang dia peroleh dari Universitas Wisconsin, AS (S2 tahun 1998 dan S3 tahun 2002), dia mencoba ‘melawan arus’ dengan menyodorkan solusi yang tidak umum dikenal atau dilakukan oleh para pakar air konvensional. Pengendalian banjir, bagi para pakar konvensional adalah tentang normalisasi kali, sodetan, kolam retensi, pengerukan, pembuatan kanal banjir dan sebagainya. Deep tunnel memang suatu terobosan, dan ini patut dihargai, apalagi bila berfungsi ganda.



Pandangan jauh kedepan perlu dimiliki para pemikir dan pemimpin bangsa ini. Seperti gagasan Bung Karno untuk memindahkan ibukota RI ke Palangkaraya misalnya, atau membangun jembatan Selat Sunda yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera. Semua itu tidak perlu dibangun segera, tapi paling tidak gagasan-gagasan besar harus selalu muncul, dan sejarahlah nanti yang akan membuktikannya, apakah gagasan-gagasan besar tersebut nantinya bisa terlaksana. Dan terutama bisa membawa kesejahteraan kepada bangasanya.  



Kembali kepada deep tunnel dan masalah banjir di Jakarta, dalam tulisan saya di Kompasiana (3 Desember 2009: http://sosbud.kompasiana.com/2009/12/03/kenapa-jakarta-selalu-kebanjiran/) solusi yang saya tawarkan hanya dua. Yang pertama, pemeliharaan sarana pengendalian banjir secara berkala, dan yang kedua adalah agar kita semua berfihak kepada yang benar dan hak (silakan baca tulisan saya untuk lebih jelasnya). Sederhana bukan? Saya jamin Jakarta bebas banjir apabila dua hal itu dilakukan, dan itu bisa dilakukan, tapi saya tidak bisa menjamin bahwa kedua hal itu mau dilakukan. Sebagai contoh untuk kasus yang pertama, di tempat saya tinggal kebetulan ada proyek uji coba pembuatan kolam retensi (lihat selengkapnya dalam tulisan saya di Kompasiana berikut ini, 19 Maret 2010: http://teknologi.kompasiana.com/internet/2010/03/19/menabung-air-mencegah-banjir-97849.html). Karena sarana yang sudah dibangun tidak dipelihara dengan baik, maka pada waktu banjir awal 2013 yang lalu, kompleks perumahan dimana saya tinggal kembali kebanjiran, bahkan lebih parah dari tahun 2007 yang lalu, meskipun tidak terlalu lama.



Atas pertimbangan itulah, saya setuju dengan pembangunan deep tunnel, dengan beberapa catatan. Pertama, paradigma kita dalam dalam fiosofi membangun kita ubah dulu. Kita tidak hanya membangun, tapi memelihara apa yang sudah kita bangun. Kedua, kita membangun dengan keberfihakan kita kepada yang benar dan hak. Saya percaya bahwa masalah teknologi dapat diatasi. Saya juga yakin bahwa dana dalam jumlah besar bisa disediakan. Tapi terus terang saya belum merasa yakin bahwa paradigma dalam filosofi pembangunan kita bisa diubah dalam waktu singkat.



Deep tunnel, dibangun atau tidak, saya cuma berharap masih punya sisa umur untuk menikmati Jakarta yang bebas banjir (dan bebas macet!).


Sanitation: basic need or a luxurious lifestyle?



By: Ris Sukarma
 
(Dari tulisan yang tersimpan dalam laci beberapa tahun yang lalu, rasanya masih relevan untuk saat ini), selamat membaca!

For human beings, sanitation is a basic need. Without proper sanitation, we will be exposed to communicable diseases, such as diarrhea. In many developing countries, proper sanitation is sometimes ignored, not only in the government’s development agenda, but also in the people’s mind. In East Asian region, 415 million were noted to have no access to improved water supplies, and 800 million have no access to improved sanitation. Meeting the MDGs still leaves 630 million (1/3 of population) without improved sanitation.
People’s awareness on proper sanitation and personal hygiene is still low, and Indonesia is no exception. Jakarta, the country’s capital, has very low (only about 2%) coverage on piped sewerage. The households in Jakarta have to rely on septic tanks which are mostly not functioning. Nation-wide, only less than a dozen of cities that has sewerage system which serves only parts of the city. The systems were mostly built during the Dutch colonial era, with a modest extension after independence.
As a matter of fact, demand for sanitation services is significant and growing rapidly.  For example, in Jakarta alone there are approximately one million septic tanks, mostly serving urban households and small commercial establishments. Large majority of these have been fully owner-financed.  The poor functioning and management of most of these tanks notwithstanding, the private investment indicates a significant demand for sanitation improvement at the household, and to a lesser extent at the neighborhood level.  
Yet, to most of those living in suburban or slum urban areas, sanitation facilities are still considered as a luxurious lifestyle. For Nata (30) toilet is not something that important. He lives in Desa Kramat, Kecamatan Pakuhaji, Tangerang one of satellite towns of Jakarta. For him, and even for his ancestor as he recalled, toilet is something that should not necessarily exist. He just smiled when he was asked if he owns a toilet in his house. “Don’t even ask me to build a toilet, for everyday meal I am still struggling (to get)”, as he replied to the press who interviewed him. For him, and for the majority of the people in his village, toilet is something luxury. 

Yes, for some of wealthy people living in a modern compound, sanitation facilities indicate a luxury lifestyle. Fully automatic toilet and fancy bath-tube are expensive and they can afford. But for Nata and his neighbor, a simple toilet they do not even think of.  They are defecating almost everywhere: in the river, above the pond, in yard, or around the house. Simple toilet should not be considered as a luxury. For this basic facility, the economic status of people like Nata should not be a reason for not having a proper defecating facility

Nata represents one among 35% of Indonesian people who do not have access to proper sanitation facility. Nata and his family usually defecate in the river in from of his house, where everybody else does the same. They also do washing and bathing there, in the same river, in a distance of less than 10 meters that he usually defecates. The case of diarrhea hit this village for several months recently, but the ‘rituals’ were again practiced after the diseases over. “People are already used to it” Nata said. The local health office recorded that in the same year, the diseases due to lack of proper sanitation has caused sickness to more than one thousand, 19 of them died.

The combination of poverty, low social status, lack of clean water supply and the absence of proper sanitation facility is the cause of the spread of the diseases. Improper understanding of the main cause of the diseases is also lacking. Chairul, a father of one child in Pakuhaji village for instance, does not believe that the spread of the diseases has something to do with improper sanitation. He thinks there is no correlation between the diseases and the people’s habit of defecating in the open space. He thinks diarrhea occurs just instantaneously. 

In its presentation in the second National Sanitation Conference in Jakarta, 2009, Sanitation Donor Group led by the World Bank mentioned three success factors for sanitation development in developing countries, particularly in Asia: (i) political priorities, (ii) increasing budget allocations over time, and (iii) sustained implementation. Sustained implementation may lead to increased access to sanitation. To make this happens, sanitation has to be linked to national development plans, and demand-based sanitation policy needs to be implemented by the agreed strategies. 

Success stories from other Asian countries may be worth noted. In Thailand, from 0.17% household latrine coverage in 1960 it has increased to above 90% by mid 1990s and 99% in 2005. These occurred after the following steps were subsequently taken: (i) systematic inclusion of sanitation program in National Economic and Social Development Plans; (ii) comprehensive vision – water supply, excreta disposal, refuse disposal – implemented on a step-by-step approach; and (iii) increased participation by key actors. 

Vietnam has invested substantial national investment since 1990s in urban sewerage and treatment systems using loan funding with grant elements for community involvement and software support to households. It also integrates urban sanitation and sewerage project. In addition to investing more on sanitation by national government, key lessons learned from other countries are on choosing the right financing approach for household involvement which will increase cost effectiveness, equity, impact and scale. In Vietnam, subsidy is given on interest rate for low income people and poor households. The real challenge is to change the people’s mind that sanitation is not a luxurious lifestyle, but a basic need!


Reading materials:

  1. Indonesia – Overview of Sanitation and Sewerage Experience and Policy Options by R. Sukarma and R. Pollard, 2001
  2. Kompas Newspaper – “Makan saja susah, apalagi bikin WC”, by Nila Kirana, circa 2003
  3. National Policy and Financing for Sanitation, examples from Asian Countries, presented at the Second National Sanitation Conference, 2009 by Sanitation Donor Group.  

Sunday, February 24, 2013

Awal dari langkah yang lebih besar



Oleh: Ris Sukarma


Dalam pernyataannya setelah menyatakan mundur sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, sehari setelah KPK menyatakan status tersangka baginya, Anas mengatakan bahwa itu adalah “awal dari langkah yang lebih besar.” Anas tampaknya memposisikan dirinya sebagai objek ketidakadilan, dia bahkan menuduh adanya konspirasi yang ingin menyingkirkan dirinya. Dia mengatakan bahwa sejak Kongres di Bandung dua setengah tahun yang lalu, dia merasa sebagai bayi yang tidak diharapkan oleh Partai Demokrat.


Ini berbeda dengan, misalnya, Andi Mallarangeng. Pada saat Andi dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK, dalam pernyataannya untuk mundur sebagai Menpora and sebagai pengurus partai, tidak ada nada perlawanan dalam pernyataannya. Anas memang berbeda, pengalaman politiknya memang sudah lebih matang. Pernah menjadi Ketua Umum HMI beberapa tahun, dan dia memiliki basis dan pendukung pada tataran akar rumput.


Pertanyaan yang muncul dari pernyataan Anas, apa yang dia maksud dengan “langkah yang lebih besar” itu? Apa yang akan kita baca dari “halaman-halaman selanjutnya” dalam proses hukum yang menjerat Anas? Apakah benar akan terjadi “tsunami politik” seperti yang diramalkan pengamat politik Effendi Ghazali? Semua ini mengundang pertanyaan bagi banyak fihak, dan kita semua menunggu episode selanjutnya dari “sinetron politik” yang sedang digelar ini.


Dengan kacamata awam, sebenarnya kasusnya cukup terang. Anas dinyatakan tersangka terlibat dalam kasus Hambalang, setelah Nazaruddin “bernyanyi”. Sebagai manusia normal, Anas mencoba mengelak dan membela diri. Kita tidak tahu apakah Anas memang terlibat atau tidak. Hanya yang bersangkutan dan Tuhan yang tahu. Dalam suatu negara yang sedang dalam semangat yang tinggi untuk memerangi korupsi, langkah-langkah KPK perlu mendapat dukungan dari semua lapisan masyarakat. Siapa saja, apakah itu penjabat negara atau pengurus partai atau pengusaha yang melakukan tindak pidana korupsi, maka proses peradilan harus dijalankan.


Kalau memang tidak terlibat, Anas memang pada posisi yang disudutkan. Pernyataannya bahwa dia siap digantung di Monas apabila terlibat menunjukkan bahwa dia merasa tidak bersalah. Apabila memang dia terlibat, itu hak dia untuk mencoba membela diri, dan proses di pengadilan-lah yang akan membuktikannya. Kalau begitu, kenapa dia begitu percaya diri dengan pernyataannya yang bernada takabur? Apakah dia memilki kartu-kartu kunci yang dia simpan rapat-rapat, dan akan dia keluarkan pada saatnya nanti? Inilah politik, dan politik sekarang menjadi tontonan seperti sinetron, yang disuka sekaligus dibenci, yang mengasyikkan sekaligus membosankan. 


Haru biru politik ini akan terus berlangsung untuk beberapa minggu kedepan, dilanjutkan dengan haru biru politik lainnya menjelang tahun 2014, tahun penentuan nasib kita kedepan sebagai bangsa. Sayang bahwa hiruk pikuk politik ini terkadang menyeret kita pada hal-hal sebenarnya bukan menjadi perhatian pokok kita dan tugas kita sehari-hari. Misalnya seperti yang saya tulis sekarang ini. Bagi yang sempat membaca tulisan ini, silakan kembali ke kegiatan masing-masing dan lupakanlah tulisan humble saya ini.


Saturday, February 23, 2013

Mengubah yang jijik menjadi menarik



Oleh: Ris Sukarma

Tidak ada orang yang peduli dengan sesuatu yang menjijikan, misalnya dengan apa yang kita buang setiap pagi sebelum mandi. Kita juga tidak peduli bagaimana nasib “barang” yang kita buang itu. Setelah WC kita sentor, “barang” itu hilang dari pandangan, habis perkara. 


Tapi, bayangkan apabila tidak ada yang peduli dengan tinja yang kita buang setiap pagi itu. Bagaimana bahan buangan yang mengandung kuman-kuman penyebab penyakit itu bisa dengan aman masuk ke dalam ekosistem tanpa merusak lingkungan? Sayangnya, disamping banyak diantara kita yang kurang berminat “berbasah-basah” dengan kotoran, pengelolaan dan pengolahan tinja yang modern, apalagi untuk kota besar, teramat mahal biayanya.

Artikel ini tidak akan membahas “nitty gritty” pengelolaan dan pengolahan air kotor. Saya hanya ingin mengajak pembaca melihat bagaimana seorang bernama Don Wildman, bisa membuat program TV tentang jaringan limbah Boston menjadi tontonan yang menarik. 

Program ini ditayangkan oleh saluran ‘Travel Channel’ dalam program “Off Limits”.

Saya merasa beruntung memiliki jaringan TV kabel dimana pagi ini saya nonton acara Don Wildman menelusuri jaringan limbah Boston yang kebetulan sedang direnovasi. Bayangkan, ada jaringan limbah yang dibangun tahun 1800an dan masih berfungsi! Tapi dengan perkembangan kota yang pesat, jaringan baru perlu diperbesar dan diperluas. Pelabuhan Boston dulunya dikenal sebagai “pelabuhan terkotor di AS”. Sekarang mereka mengurus masalah itu dengan membangun instalasi pengolahan limbah kedua terbesar di AS. Kita tidak perlu berargumen tentang kemampuan finansial kota itu, yang ingin saya tampilkan adalah bagaimana kegiatan itu bisa menjadi obyek tayangan TV yang menarik. 


Don mulai tertarik meliput hal-hal yang mungkin tidak dipedulikan orang biasa, pada saat dia mendarat di atas kota Los Angeles yang amat luas. Dia ingin tahu kemana perginya tinja dari kota sebesar itu. Beberapa tahun kemudian impiannya terwujud, dia menjadi host dari program “Off Limits” yang secara berkala ditayangkan Travel Channel. Klik tautan berikut untuk melihat tayangan bagaimana Don Wildman blusukan di dalam saluran limbah di Boston sebagaimana dimuat di YouTube: http://www.youtube.com/watch?v=97p981QKWBA


Tahun 1970an sewaktu saya melakukan survey air limbah di Surabaya, saya menemukan ada pipa air limbah berukuran besar berbentuk oval yang tertanam dalam di tengah jalan. Saya yakin tidak banyak yang tahu bahwa Surabaya pernah punya jaringan limbah yang dibangun jaman Belanda dulu. Apakah ada diantara kita yang mau blusukan di dalam saluran limbah seperti Don? Kalau diliput dan menjadi tayangan TV yang menarik, kenapa tidak?