Catatan: Artikel ini sebenarnya diajukan untuk diterbitkan pada majalah
ilmiah populer bidang manajemen,bisnis dan akuntansi asuhan Kwik Kian
Gie, tapi entah mengapa, sesuai informasi yang saya terima dari Pak
Satrio Arismunandar, koordinator penerbitan, majalah tersebut tidak jadi
terbit. Saya sendiri sudah lupa kapan saya mengirim artikel tersebut,
tapi agar tulisan ini tidak mengendap di laci meja, saya putuskan untuk
saya muat disini. Artikel yang sama juga saya muat di blog Kompasiana. Semoga bermanfaat.
Bisnis air kemasan
adalah bisnis yang menguntungkan dan saat ini dikuasai oleh
perusahaan-perusahaan raksasa. Namun,
kini
ada alternatif bagi konsumen, ketika muncul bisnis dengan modal relatif kecil,
yang menawarkan berbagai peralatan pengolah air agar layak minum dengan harga
terjangkau.
Hari
gini, siapa yang tidak minum air
kemasan? Semua orang mengonsumsinya, mulai dari tukang becak dan sopir taksi
sampai direksi perusahaan dan pejabat pemerintah,
yang sedang rapat di ruangan berpendingin udara. Keberadaan air kemasan memang sudah menjadi pemandangan biasa
dan wajar. Hampir semua lapisan masyarakat menggunakannya untuk keperluan
sehari-hari, baik dalam pertemuan arisan ibu-ibu maupun acara piknik keluarga di kebun
binatang. Bahkan di sebagian rumah kita masing-masing, air kemasan selalu siap
untuk menghapus dahaga.
Apanya
yang salah dengan minum air kemasan? Tampaknya tidak ada yang salah. Tetapi menurut saya,
ada yang tidak beres. Air adalah kebutuhan dasar bagi setiap makhluk hidup. Kita sebagai manusia bisa tidak makan
satu sampai dua minggu, tapi tak akan kuat
tidak minum dalam beberapa hari. Sekitar 60 persen bobot tubuh
manusia terdiri dari cairan, dalam bentuk aliran darah dan cairan dalam otak.
Apabila manusia tidak minum dalam beberapa hari,
akan terjadi dehidrasi, artinya keseimbangan cairan dalam badan akan terganggu
karena air yang keluar lebih banyak dari yang masuk. Akibatnya bisa fatal. Pada tingkat yang sudah sangat berat, dehidrasi bisa
berujung pada penurunan kesadaran, koma, hingga berakhir dengan kematian.
Nah,
sebagai kebutuhan dasar, air minum seharusnya mudah didapat dan terjangkau oleh
seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali. Saat ini air minum memang mudah
didapat.
Antara lain melalui air kemasan,
karena air yang disalurkan perusahaan air minum (PAM) umumnya
belum layak minum.
Tapi apakah harganya
terjangkau oleh semua orang? Satu botol air kemasan harganya berpuluh-puluh
kali lipat harga air minum dari PAM. Untuk satu liter air kemasan yang harganya
sekitar tiga ribu rupiah, harga satu meter kubiknya adalah tiga juta rupiah.
Bandingkan dengan harga air PAM yang tidak sampai Rp 5.000 per m3.
Tapi masyarakat tidak punya pilihan lain, karena air PAM belum layak minum,
atau harus dimasak dulu sebelum bisa diminum. Dan, meskipun terasa berat,
terpaksa membeli air kemasan atau air isi ulang,yang kualitasnya mungkin meragukan.
Tidak usah membandingkan jauh-jauh. Di negara
tetangga Singapura saja, mereka bisa minum air langsung
dari keran. Air kemasan mereka beli hanya untuk keperluan tertentu, misalnya, sewaktu dalam perjalanan. Artinya, masyarakat di Singapura punya pilihan. Sedangkan kita, tidak. Itulah masalahnya. Namun, benarkah kita tidak punya pilihan lain? Sebenarnya
ada, tapi mungkin belum banyak yang mengetahuinya, atau lebih tepatnya, belum
banyak yang menyadarinya.
Hegemoni
Para Raksasa
Tahun
1970-an, pada saat perusahaan air minum kemasan, atau
juga sering disebut air mineral, mulai merintis bisnisnya, banyak yang mencibir
atau melihatnya dengan sebelah mata. Sekarang situasinya berbeda, air kemasan
menjadi booming, apalagi setelah
perusahaan tersebut diakuisisi oleh perusahaan ternama dari luar pada 1998.
Bisnis ini meraksasa dan memicu perusahaan-perusahaan lain untuk terjun di
bisnis sejenis, dan ternyata laris manis di pasaran.
Sekitar 16 tahun yang lalu, penulis pernah membuat kajian singkat tentang
bisnis ini. Pada waktu itu (1997), sudah lebih dari seratus perusahaan sejenis
yang terdaftar, bahkan ada yang berdomisili di Papua. Sekarang jumlahnya
mungkin sudah berlipat-lipat. Kecenderungan yang ada memang demikian. Pengguna
air kemasan di dunia ini meningkat dari tahun ke tahun.
Pada 2009, konsumsi air
kemasan adalah 13 miliar liter, dan pada tahun berikutnya (2010) menjadi 14,5 miliar liter (Viva News, November 2010). Padahal, air kemasan juga bukan tidak
bermasalah. Botol atau wadah plastik yang digunakan air kemasan, apabila
terkena sinar matahari cukup lama, misalnya,
pada saat diangkut dengan truk terbuka, akan membentuk bahan kimia Bisphenol A
yang berbahaya bagi kesehatan.
Bisnis air kemasan
memang menggiurkan. Cukup dengan modal Rp 200-300 juta
untuk membeli peralatan pengolah air dengan proses ultrafiltrasi atau reverse osmosis, apabila bisa
mempertahankan margin sebesar Rp 500 saja per dus
untuk penjualan 1.000 dus sehari, seorang pemodal
bisa mengharapkan modalnya kembali dalam waktu kurang dari setahun. Bisa
dibayangkan besarnya keuntungan yang diperoleh para pemodal besar dan
perusahaan raksasa yang menguasai bisnis air di Indonesia. Dan yang lebih
menyakitkan, sebagian besar dari keuntungan itu mengalir ke kantong-kantong
pengusaha dari luar negeri.
Lengkap sudah penderitaan
kita.
Masyarakat yang tinggal di tempat
kelahirannya sendiri, di mana airnya dikenal banyak melimpah
ruah, tetapi
terpaksa mati kehausan karena tidak
mampu membeli air yang layak minum. Pertanyaannya, apakah tepat apabila
komoditas yang menjadi hajat hidup rakyat banyak, dan bahkan menentukan hidup
dan matinya seseorang, dikelola secara bisnis murni? Rasanya kok tidak, tapi
kita sendiri tidak sanggup menghadapinya, apalagi melawannya.
Perkembangan
yang terjadi akhir-akhir ini cukup menarik untuk
diamati. Daripada menjual air dalam botol, apakah tidak sebaiknya menjual alat yang bisa menghasilkan
air dengan kualitas yang sama, dengan sumber yang ada di sekitar kita? Inilah
yang dilakukan beberapa pemodal yang jeli melihat peluang. Dimulai dari jenis
yang canggih, dengan harga belasan sampai
puluhan juta rupiah, sekarang sudah ada alat yang harganya di bawah
satu juta rupiah. Tapi tetap saja masih dirasakan mahal bagi sebagian besar
masyarakat, terutama apabila pengguna harus mengganti catridge secara berkala dengan harga yang tidak murah juga.
Berangkat
dari pemikiran bahwa air adalah kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan
hidupnya dan memelihara kesehatannya, penulis berpendapat, air minum mestinya harus mudah didapat dan
terjangkau oleh masyarakat dari semua lapisan, termasuk masyarakat yang
kurang mampu sekalipun. Hal ini karena sebagaimana diputuskan dalam konvensi Sidang
Umum PBB pada 28 Juli 2010, air merupakan hak asasi manusia.
Idealnya, air yang
dikelola dan didistribusikan oleh perusahaan-perusahaan milik daerah itulah
yang mestinya menjadi pilihan. Tapi dari lebih 400 perusahaan daerah yang tersebar di 33 provinsi,
termasuk perusahaan-perusahaan yang dikelola swasta dalam/luar negeri melalui
kerjasama pemerintah dan swasta (KPS), yang memiliki reputasi bagus dalam
pelayanan air minum kepada masyarakat kurang dari jumlah jari tangan.
Dari jumlah yang
sedikit itu, tidak ada satu pun yang berani menyatakan bahwa
air yang dihasilkannya dapat langsung diminum di rumah
masing-masing pelanggan. Dan stigma yang sudah kuat melekat sebagai pengelola
jasa pelayanan yang buruk, sangat sulit
untuk dihilangkan. Dengan setumpuk masalah utang dan kebocoran yang tinggi,
serta cakupan pelayanan yang masih terbatas, pengelola jasa pelayanan
masyarakat ini dibuat tidak berdaya. Inilah kenyataan pahit yang mau tidak mau
harus kita hadapi.
Penggunaan Saringan Keramik
Sampai kapan kita harus
menunggu hingga perusahaan-perusahaan milik daerah itu menjadi lebih baik
kinerjanya untuk bisa memproduksi dan mendistribusikan air layak minum?
Sanggupkah kita menunggu sementara kerongkongan kita mengering kehausan? Tentu
tidak.
Kita harus berbuat sesuatu. Hegemoni
raksasa bisnis air kemasan ini harus kita lawan. Tidak secara frontal tentu
saja, tapi dengan membangun kesadaran bahwa air adalah kebutuhan dasar yang
telah menjadi hak asasi manusia, dan seharusnya tidak dikomersialkan.
Sebenarnya kita punya pilihan lain
selain menggunakan air kemasan. Salah satu pilihan yang sedang penulis gagas
dan tekuni adalah penggunaan saringan keramik sebagai alat pengolah air tingkat
rumah tangga, atau yang oleh kalangan akademisi dan para peneliti dikenal
sebagai point-of-use treatment.
Sejak 2008, penulis mulai mempelajari, meneliti dan kemudian
mencoba memproduksi saringan keramik. Ternyata tidak terlalu sulit untuk
membuatnya. Saringan keramik adalah teknologi pengolahan air yang sudah dikenal
sejak lama. Tahun 1827, Henry Doulton, pewaris pabrik keramik dari ayah dan
kakek buyutnya mencoba membuat saringan yang terbuat dari lempung untuk
mengolah air sungai Thames di London yang tercemar berat. Ternyata hasilnya
sangat menggembirakan. Saringan keramik buatannya bisa menghilangkan bakteri
penyebab penyakit perut dengan efisiensi penghilangan sebesar 99,88%.
Sejak Dr. Fernando
Mazariegos dari Guatemala membuat versi yang lebih sederhana pada 1981,
saringan keramik kemudian dikenal sebagai teknologi yang tepat guna, dan banyak
digunakan di negara-negara berkembang. Perintis saringan keramik di
negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin di antaranya adalah Ron Rivera dari Potter for Peace
(PfP) dan Mickey Sampson dari Resource Development International – Cambodia
(RDIC). Lembaga internasional non-pemerintah yang sampai saat ini aktif dalam
mempromosikan saringan keramik antara lain adalah Potter Without Border (PwB)
yang berkedudukan di Kanada.
Lempung dan sekam padi adalah bahan dasar
untuk membuat saringan keramik. Lempung banyak terdapat di Indonesia, demikian
pula halnya dengan sekam padi. Semuanya ada di sini. Dengan
sedikit sentuhan teknologi, serta ketekunan dalam melakukan uji coba, saringan
keramik bisa dibuat oleh siapa saja. Dengan menggunakan rancangan dari RDIC,
penulis membuat saringan keramik pada tahun 2008.
Dari pengalaman penulis
memproduksi saringan keramik, diperlukan modal dasar sekitar Rp 200 sampai 250
juta untuk membuat pabriknya. Saringan keramik yang penulis produksi dijual
dengan harga Rp 150 ribu untuk tipe Basic,
dan Rp 250 ribu untuk tipe Superior.
Dengan marjin sebesar Rp 50 – 100 ribu per unit untuk penjualan 500 unit per bulan,
modal sudah bisa kembali dalam beberapa tahun saja.
Dari perhitungan di atas
kertas, bisnis ini memang tampak menarik, tapi bukan
berarti tanpa kendala. Kendala yang pertama dan paling utama adalah kepercayaan
masyarakat terhadap produk dalam negeri. Dengan menggunakan bahan lokal dan
teknologi tepat guna, serta dengan harganya yang relatif murah, masyarakat
masih belum terlalu percaya bahwa alat sederhana ini, tanpa menggunakan listrik
dan tanpa media penyaring, ternyata bisa menghasilkan air layak minum. Kendala
ini mestinya bisa diatasi dengan memperkenalkan produk, dengan segala kelebihan
(dan kekurangannya), kepada masyarakat luas.
Penulis merasa
bersyukur dan berterimakasih kepada Yayasan Inovasi Teknologi (Inotek – www.inotek.org), karena dengan bantuan hibah yang mereka telah
berikan, produk saringan keramik, yang penulis beri nama Tirta Cupumanik (TCM)
sudah mulai dikenal orang, meskipun masih terbatas di Jakarta dan sekitarnya.
Kendala yang kedua
adalah masalah pengangkutan. Saringan ini terbuat dari keramik yang rentan
pecah dan rawan untuk dikirim ke tempat yang jauh. Untuk mengatasi kendala ini, franchising merupakan cara yang paling tepat. Dengan sistem franchising, pemodal di daerah yang
memiliki potensi lempung dapat membuat pabriknya di tempat, dengan sistem bagi
hasil. Pemodal akan mendapatkan teknologi yang diperlukan, dengan membayar fee
yang didapatkan dari marjin keuntungan. Bantuan teknologi diperlukan untuk
menjaga kualitas produk yang dihasilkan. Penyebaran produk pembuatan saringan
keramik juga akan menghidupkan sentra-sentra keramik di daerah yang pada
akhirnya akan menyerap tenaga kerja setempat.
Tidak bisa dipungkiri,
dengan adanya saringan keramik ini, pihak-pihak yang sudah membuka bisnis air kemasan di
beberapa daerah akan merasa terganggu dan tersaingi. Tapi kita serahkan saja
kepada pasar, mudah-mudahan sebagian dari mereka ada yang tertarik dan berpindah
ke bisnis saringan keramik. Pembuatan saringan keramik sebagai teknologi tepat
guna merupakan public domain yang
termasuk dalam paten sederhana. Yang diperlukan kedepan adalah adanya Standar
Nasional Indonesia (SNI) dalam pembuatan saringan keramik, agar produknya dapat
dipertanggungjawabkan secara teknis.
Tahun 2013 adalah tahun
kelima sejak penulis memulai gagasan pembuatan saringan keramik TCM. Dengan
produksi yang masih terbatas (sekitar 100 unit per bulan),
saringan keramik TCM sudah digunakan di beberapa tempat di Jakarta dan
sekitarnya, serta secara terbatas di beberapa kota di Jawa Tengah, Bali,
Sumatera Barat dan NTT.
Saringan keramik
sebagai alat pengolah air tingkat rumah tangga merupakan langkah kecil
menghadapi hegemoni raksasa bisnis air kemasan. Diharapkan langkah kecil ini
bisa menjadi langkah awal untuk satu lompatan besar ke depan,
sehingga lebih banyak lagi masyarakat yang bisa memenuhi rasa dahaganya dengan
cara yang mudah dan terjangkau, dan tidak lagi tergantung pada air kemasan atau
air isi ulang. ***