Sunday, November 1, 2020

Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi

Yth. Bapak Ir. H. Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia.

Saya memberanikan diri menulis surat terbuka ini untuk Bapak Jokowi dengan harapan Bapak sempat membacanya, dan mempertimbangkan beberapa masukan dari saya. Saya adalah pensiunan PNS (ASN), mengambil pensiun dini pada tahun 2000 setelah 19 tahun bekerja dan kemudian bergabung dengan salah satu lembaga internasional, tinggal di Jakarta. Sejak lulus dan bekerja, sampai pensiun sekarang ini, perhatian saya tidak lepas dari masalah air minum. Di bawah kepemimpinan Bapak, infrastruktur jalan tol, pelabuhan laut, bandara dan sarana transportasi lainnya dibangun dimana-mana, tapi masalah air minum masih saja berjalan ditempat dan tertinggal dari infrastruktur lainnya, padahal air minum adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, dan bahkan PBB sudah mengakui (acknowledge) bahwa air merupakan hak asasi manusia (Resolusi PBB No 64/292 tahun 2010). 

Menurut data dari Bappenas, pada tahun 2018, akses air minum layak di Indonesia adalah 87,75%, terdiri dari akses perpipaan (20,14%) dan akses non-perpipaan (67,62%), dimana akses amannya adalah 6,8% (Bappenas, 2019). Dari sumber yang sama, target air minum aman pada tahun 2030 adalah 43,15%, sedangkan target akses aman sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) pada tahun 2030 adalah 100%. Akses aman adalah dimana air dapat diminum langsung dengan aman, sesuai Permenkes 492/2010. Ini jelas tantangan yang tidak mudah untuk dicapai, apalagi dengan kondisi infrastruktur air minum, terutama sistem perpipaan, yang selalu menghadapi masalah yang sama dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi. Tanpa ada upaya terobosan yang “out-of-the box”, target-target tersebut akan sulit tercapai. 

Masalah dan kendala dalam pengelolaan air minum sebenarnya sudah banyak diketahui, dan langkah-langkah untuk mengatasinya sudah banyak dilakukan. Sebagai seorang yang sudah mengalami dan melalui beberapa generasi pemerintahan, saya merasakan sendiri betapa tidak mudahnya mengatasi masalah air minum di negeri ini. Rekan-rekan senior saya sejak lama sudah mengangkat isu air minum ini sampai ke tingkat Wapres Adam Malik waktu itu, tapi permasalahannya selalu berputar-putar di situ-situ juga, antara kewenangan daerah sesuai UU 23/2014 dan daerah yang kurang peduli; dari kemampuan daerah yang selalu (mengaku) terbatas sampai banyaknya K/L di pusat yang mengatur masalah air minum. Sebenarnya sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki kondisi per-air minuman, seperti restrukturisasi utang daerah dan PDAM, investasi besar-besaran dari pemerintah pusat dalam rangka tugas konkuren, sampai mobilisasi sumber-sumber dana non publik. Bahkan Wapres Jusuf Kalla pernah mencanangkan program satu juta sambungan rumah, tapi hasilnya belum dirasakan optimal.

Akar permasalahan sektor air minum, khususnya di perkotaan, menurut pendapat saya, adalah jumlah pengelola air minum (BUMD Air Minum/PDAM/KPBU) yang terlalu banyak, karena mengikuti jumlah kabupaten/kota, tapi dengan jumlah pelanggan di masing-masing kabupaten/kota yang sedikit, di bawah ambang batas dimana skalanya terlalu kecil untuk dikelola secara ekonomis (economies-of-scale). Idealnya, jumlah pelanggan minimum secara ekonomis di setiap unit pengelola adalah 50 ribu keatas. Saat ini, sekitar 400an kota/kabupaten memiliki unit pengelola dengan total 10 juta pelanggan. Jumlah kabupaten/kota dengan pelanggan di atas 50 ribu hanya sekitar 36, termasuk beberapa kota besar/metropolitan, dengan jumlah pelanggan di atas 200 ribu, selebihnya memiliki jumlah pelanggan antara di bawah seribu sampai 49 ribu dengan rata-rata 13 ribu pelanggan per kabupaten/kota. Apapun upaya yang dilakukan, berapapun tarif yang akan diberlakukan, secara ekonomis pengelolaan air minum dengan pelanggan seperti itu tidak efisien dan akan selalu merugi. Data dari Kementerian PUPR menunjukan bahwa dari 380 BUMD Air Minum yang dievaluasi kinerjanya pada 2019, yang berkinerja rendah (“sakit” dan “kurang sehat) adalah 41% dan yang “sehat” 59%, meskipun kriteria “sehat”-nya patut dipertanyakan. 

Dengan logika sederhana, sebenarnya jumlah unit pengelola bisa dikurangi tanpa mengurangi kewenangan dan otonomi daerah, yaitu dengan cara penggabungan melalui kerjasama antar daerah, bisa penggabungan pada tingkat provinsi, regional, bahkan pulau atau antar pulau. Misalnya unit pengelola unit Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, NTB/NTT, Maluku/Maluku Utara dan Papua (Papua dan Papua Barat). Pola-pola kelembagaan ini sudah dilakukan pada perbankan daerah, dengan kepemilikan bersama antara provinsi dan kabupaten/kota. Tabel berikut memperlihatkan jumlah pelanggan di pulau-pulau tersebut (diluar kota besar/metro dengan jumlah pelanggan diatas 200 ribu) pada tahun 2012-2013, saat ini angka-angka tersebut mungkin sudah berubah:

Pulau Sumatera: 1,8 juta (diluar Medan dan Palembang)

Pulau Jawa: 3,8 juta (diluar DKI Jakarta dan Surabaya)

Pulau Kalimantan: 1 juta

Pulau Bali: 400 ribu

NTB dan NTT: 300 ribu

Maluku dan Maluku Utara: 66 ribu

Papua dan Papua Barat: 44 ribu (atas alasan geografis dan politis, barangkali Papua dan Papua Barat tetap memiliki satu unit pengelola, meskipun jumlah pelanggannya di bawah 50 ribu). 

Pola di atas hanya salah satu dari beberapa opsi yang perlu dikembangkan lebih lanjut. Penggabungan dimungkinkan dengan telah terbitnya Permendagri 22/2020 yang mengatur kerjasama daerah dengan daerah lain (KSDD), dimana KSDD yang dilaksanakan oleh 2 (dua) atau lebih Daerah yang berbatasan untuk penyelenggaraan pemerintahan yang memiliki eksternalitas lintas Daerah dan penyediaan layanan publik yang lebih efisien jika dikelola bersama, sifatnya wajib.

Dalam UU Cipta Kerja (versi 1052 halaman) saya mencatat ada dua pasal (Pasal-pasal 19 dan 51) dalam UU Sumber Daya Air yang diubah dalam UU Cipta Kerja, dimana keduanya terkait dengan penerbitan Peraturan pemerintah (PP) tentang ketentuan BUMN/BMUD dalam pengelolaan SDA dan tentang perizinan berusaha untuk penggunaan SDA. Saya berharap kedua PP yang akan diterbitkan tersebut terkait juga dengan upaya pengelolaan air minum yang “out-of-the box”, dan tidak terjebak ego sektor maupun ego kedaerahan yang sempit. Untuk melaksanakannya, saya menyadari hal ini tidak mudah, dan perlu waktu, tapi di bawah kepemimpinan Bapak, saya percaya pembantu-pembantu Bapak dapat menyusun formulasi yang tepat dan berdampak positif bagi perkembangan per-air minuman di Indonesia.

Saya juga percaya bahwa di bawah kepemimpinan Bapak Jokowi tidak ada yang tidak mungkin untuk diperbaiki, sepanjang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Di usia yang ke 71 hari ini (31 Oktober 2020), saya hanya bisa mendo’akan semoga Bapak diberikan kesehatan untuk bisa memimpin negeri ini sampai tahun 2024. 

 

No comments:

Post a Comment