Oleh: Ris Sukarma
Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Indonesia pada 13 Februari 2013, Dr. Ir. Djoko M. Hartono, SE, M. Eng. mengemukakan makin memburuknya kualitas air baku, melampaui nilai standar air baku air minum yang diijinkan. Selanjutnya dikatakan bahwa “bangunan instalasi pengolahan air minum yang ada sekarang menggunakan teknologi pengolahan air minum yang dibangun pada 15 sampai 40 tahun yang lalu yang dirancang berdasarkan kepada kondisi kualitas air baku pada saat itu yang hanya mempertimbangkan parameter kekeruhan saja.” Atau yang dikatakannya sebagai metoda konvensional.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Indonesia pada 13 Februari 2013, Dr. Ir. Djoko M. Hartono, SE, M. Eng. mengemukakan makin memburuknya kualitas air baku, melampaui nilai standar air baku air minum yang diijinkan. Selanjutnya dikatakan bahwa “bangunan instalasi pengolahan air minum yang ada sekarang menggunakan teknologi pengolahan air minum yang dibangun pada 15 sampai 40 tahun yang lalu yang dirancang berdasarkan kepada kondisi kualitas air baku pada saat itu yang hanya mempertimbangkan parameter kekeruhan saja.” Atau yang dikatakannya sebagai metoda konvensional.
Pada saat ini teknologi pengolahan air yang konvensional tampaknya
tidak bisa lagi diandalkan untuk mengolah air baku yang semakin tercemar.
Diperlukan unit pengolahan tambahan berupa teknologi adaptif, yang dapat
berfungsi untuk mengurangi tingkat pencemaran. Unit tambahan ini tentu akan
meningkatkan biaya produksi yang dampaknya akan meningkatkan harga jual air
minum kepada masyarakat. Sebagaimana sudah kita ketahui, teknologi konvensional
menggunakan proses penyaringan dengan saringan granular (umumnya pasir) dengan
ukuran pori yang relatif besar. Diperlukan teknologi penyaringan dengan ukuran
pori yang lebih kecil untuk bisa mengatasi memburuknya kualitas air baku.
Diantara teknologi pengolahan adaptif yang saat ini
berkembang, nanofiltrasi banyak menarik perhatian para pakar. Nanofiltrasi adalah proses penyaringan
melalui membran, digunakan untuk menyaring air dengan kandungan zat padat
terlarut (TDS) yang rendah. Nanofiltrasi banyak digunakan dalam proses
pengolahan makanan, tapi juga sudah mulai digunakan untuk menghasilkan air
minum. Nanofiltrasi bekerja pada rentang antara ultrafiltrasi dan RO (reverse osmosis), dengan ukuran nominal
pori membran sebesar 1 nanometer (satu
perjuta millimeter). Meskipun efektif menghilangkan kontaminan dalam air baku,
dan sering digunakan dalam proses
desalinasi, kombinasi nanofiltrasi dan RO menghasilkan air yang tidak
mengandung nutrien yang dibutuhkan oleh tubuh manusia, sehingga proses ini
dianggap kurang sesuai digunakan untuk pengolahan air minum. Bagi negara-negara
berkembang, teknologi ini juga menimbulkan ketergantungan terhadap teknologi
tinggi yang nota bene dimiliki
negara-negara maju (Safer water, better
health, WHO, 2008).
Pada ujung yang lain,
mikrofiltrasi sudah lama digunakan dalam proses penyaringan. Dengan ukuran pori
saringan antara 0,1 sampai 3 mikron (satu mikron sama dengan satu per seribu
millimeter), mikrofiltrasi dapat menyaring bakteri penyebab penyakit perut.
Proses mikrofiltrasi yang sudah lama dikenal, seperti dalam penggunaan saringan
keramik. Teknologi ini dapat menghasilkan air yang bebas bakteri, tapi masih
perlu dilapisi larutan perak koloid untuk menghilangkan virus. Saringan keramik
pertama kali diperkenalkan oleh Henry Doulton tahun 1827. Teknologi ini
kemudian dikembangkan sebagai teknologi tepat guna, antara lain oleh Potter for
Peace dan Potter Without Border. Dengan teknologi tepat guna, saringan keramik
dapat diproduksi oleh perajin keramik setempat dengan menggunakan bahan baku
yang banyak terdapat di Indonesia, yaitu lempung. Karena kapasitas produksinya
terbatas (1- 3.5 liter/jam), saringan keramik cocok sebagai pengolahan air
skala rumah tangga (point-of-use
treatment), apalagi pada saat dimana air PAM yang sampai dirumah pada
umumnya belum dapat diminum langsung. Point-of-use treatment merupakan
pendekatan yang disetujui dan didukung oleh WHO.
Ultrafiltrasi
berada diantara mikrofiltrasi dan nanofiltrasi. Dengan rentang ukuran pori
antara 0,01 sampai 0,1 mikron, ultrafiltrasi tampaknya teknologi yang cukup
menjanjikan dalam teknologi pengolahan air di masa depan, paling tidak untuk
negara-negara berkembang seperti Indonesia. Ultrafiltrasi adalah teknologi
menengah yang dapat dikuasai oleh para ahli kita sendiri, dan ini sudah
terbukti. Teknologi ultrafiltrasi dapat diterapkan pada proses pengolahan air
skala kota dan kawasan.
IPA dengan ultrafiltrasi di Banjar, Jawa Barat (Buletin Cipta Karya, Januari 2013) |
Adalah Ir. Irman
Djaya Dipl. SE, yang dengan ketekunannya telah berhasil mengembangkan dan menerapkan teknologi ultrafiltrasi pada
instalasi pengolahan air minum. Salah satu hasil karyanya dapat dilihat di Kota
Banjar (Jawa Barat), dimana proses ultrafiltrasi sudah diterapkan pada
instalasi pengolahan air di kota itu (Buletin Cipta Karya, Januari 2013). Instalasi
pengolahan yang dibangun dengan kapasitas produksi 50 liter/detik tersebut
adalah instalasi pertama yang menerapkan teknologi ultrafiltrasi di Indonesia. Menurut
Irman Djaya, air yang diolah melalui proses filtrasi harus melalui pengolahan
pendahuluan terlebih dahulu untuk menurunkan kekeruhan menjadi dibawah 20 NTU.
Setelah itu, air yang dihasilkan dapat langsung diminum tanpa pembubuhan disinfektan
lagi. Investasi teknologi ultrafiltrasi ini tidak mahal, bahkan 20-25% lebih
murah dari IPA konvensional, tapi belum termasuk pengolahan pendahuluan untuk
menurunkan kekeruhan sampai dibawah 20 NTU. Sedangkan biaya operasinya sekitar
15-20% lebih murah dari IPA konvensional.
Efektivitas
pengolahan dengan teknologi ultrafiltrasi ini mestinya sudah teruji, baik
secara keilmuan maupun melalui hasil uji coba. Yang perlu dikaji lebih lanjut
adalah keandalan sistem dalam kurun waktu tertentu. Misalnya menyangkut tentang
usia teknis membran, efektivitas membran yang harus bekerja pada kondisi
ekstrim tertentu (cuaca, perubahan kualitas air baku secara ekstrim dan
mendadak), atau masalah operasional lainnya (kualifikasi dan pengalaman
operator, ketersediaan suku cadang dan tenaga ahli).
Terlepas dari
hal-hal yang disebutkan diatas, inovasi yang dikembangkan dalam pengolahan air
melalui teknologi ultrafiltrasi perlu mendapat apresiasi. Pada saat dimana
pencemaran sumber-sumber air permukaan meningkat, sedangkan instalasi
pengolahan yang ada sudah tidak lagi mampu mengatasi peningkatan pencemaran,
teknologi ultrafiltrasi bisa menjadi jawabannya.
Malah sekarang sudah ada pengolahan air permukaan tanpa menggunakan bahan kimia (koagulan). Hanya mengandalkan kemampuan screen dan filter secara bertahap, diakhiri (finalisasinya) dengan Ultra filtrasi. Ini merupakan harapan baru untuk mengembangkan recycle water di Gedung-Gedung tinggi juga untuk pelayanan skala kota.
ReplyDelete