Concorde (Wikipedia) |
Naik pesawat terbang memang pengalaman mengasyikan, apalagi
naik Concorde!
Saya pertama kali naik pesawat terbang sewaktu tugas ke
Flores tahun 1970an. Pesawatnya adalah DC 9 Garuda dengan logo yang lama dan
badan pesawat di cat putih bergaris merah. Waktu itu pesawat singgah di
Denpasar dan menginap semalam sebelum besoknya terbang ke Ende dengan pesawat
yang lebih kecil. Waduh senangnya, apalagi ini adalah untuk pertama kalinya saya
mengunjungi Pulau Dewata. DC 9 waktu itu sangat populer, sehingga salah seorang
pilot DC 9 Garuda menamai anaknya Daisi Ninawati, mengikuti ejaan DC 9 dalam
bahasa Inggeris.
Naik pesawat antar benua dialami sewaktu sekolah ke Belanda
dulu. Berangkatnya masih dari Halim Perdanakusuma karena Bandara Soekarno Hatta
belum dibangun. Halim adalah bandara internasional sedangkan Kemayoran adalah
bandara untuk penerbangan domestik. Naik pesawat dalam perjalanan antar benua saya
rasakan amat membosankan, pesawat seakan tidak bergerak, cuma suara mesin
pesawat yang terdengar mendengung. Pesawat sempat singgah di Abu Dhabi dan Roma
untuk mengisi bahan bakar. Lumayan bisa meluruskan badan, meskipun cuma bisa
jalan-jalan di bandara yang lengang karena pas malam menjelang pagi.
Yang saya rasakan paling enak adalah sewaktu dalam
perjalanan pulang dari Paris ke Singapur dengan Air France, karena kelasnya di upgrade ke bisnis, sehingga bisa
merasakan pelayanan istimewa dengan reclining
seat sehingga bisa tidur nyenyak, merasakan nikmatnya jadi orang kaya,
meskipun cuma sebentar.
Naik pesawat Ilyushin saya alami sewaktu melakukan
perjalanan ke Moskow. Pesawat buatan Rusia ini mirip DC 9, tapi badannya lebih
panjang. Mesin pesawat terasa halus, tapi pelayanannya buruk, buah apel
dibagikan kepada para penumpang dengan cara dilempar begitu saja oleh pramugara
yang mahal senyum.
Saya juga pernah naik pesawat dimana hanya saya penumpang
satu-satunya. Waktu itu saya terbang dari Balikpapan ke Samarinda, ternyata
hanya pilot, operator bandara, dan saya sendiri, serta setumpuk barang pos. Saya
senang sewaktu diundang duduk di cockpit
di sebelah pilot, sayang penerbangan ini hanya makan waktu 40 menit. Rute ini
memang kurang peminat karena ada jalan lewat darat dan feri, meskipun lebih
lama, waktu itu belum ada jalan darat yang langsung menuju Samarinda.
Pengalaman buruk saya alami beberapa kali, pertama sewaktu
terbang dari Makassar ke Manado, waktu hampir mendarat di Manado, pesawat
dihadang hujan lebat disertai petir sehingga pesawat gagal mendarat setelah
beberapa kali mencoba landing.
Akirnya pesawat kembali ke Makassar.
Pengalaman berikutnya sewaktu singgah Timika di Papua (waktu itu namanya masih Irian Jaya) dalam
perjalanan ke Jayapura. Pesawat DC8 Merpati gagal terbang lagi setelah beberapa
kali mencoba. Akhirnya seluruh penumpang diminta turun untuk menginap di hotel
terdekat.
Esok harinya pesawat mencoba lagi terbang, tapi gagal lagi
sehingga kami dikembalikan ke hotel yang sama. Malangnya, kamar hotel sudah terisi
penuh, sehingga sepuluh orang harus
tidur dalam satu kamar. Akhirnya pada hari ketiga kami bisa menanjutkan
perjalanan tapi dengan pesawat lain. Mungkin manfaat yang saya dapatkan dari
kejadian itu adalah bahwa selama tiga hari menunggu itu, saya dan penumpang
lain, yang kebanyakan perwira TNI yang akan ditugaskan ke Papua, sempat masuk
pedalaman Timika dan menikmati indahnya alam Papua.
Pengalaman naik Hercules saya alami sewaktu berangkat ke
Maumere dalam rangka misi kemanusiaan pada saat Flores dilanda bencana gempa
bumi. Waktu itu pesawat diisi peralatan untuk penanggulangan bencana, sehingga
kita semua berdesakan bersama alat berat, pompa air dan generator. Rupanya
pesawat tidak dilengkapi alat penyejuk ruangan, sehingga kami sangat kepanasan
sewaktu tinggal landas, tapi menggigil kedinginan setelah diatas.
Mesipun sudah sering melakukan perjalanan dengan pesawat
udara, saya tetap merasa terkesan setiap saat pesawat lepas landas. Bayangkan,
dengan beban beberapa ton dan ratusan manusia didalamnya, pesawat berbadan
lebar seperti Airbus dan Boeing bisa mengangkasa dengan mudahnya. Meskipun
logika termodinamika dengan jelas menerangkan kenapa sebuah benda bisa terbang,
bagiku penemuan pesawat terbang tetap merupakan kemajuan teknologi yang besar
bagi umat manusia.
Kemajuan dalam teknologi dirgantara memang mengagumkan,
padahal baru tahun 1903 Wright bersaudara mencoba melakukan uji terbang pesawat
buatan mereka, meskipun cuma bisa mengudara kurang dari satu menit. Jarak yang
ditempuh pesawat yang ditumpangi Wright bahkan tidak lebih panjang dari panjang
badan pesawat jumbo seperti Airbus dari ujung ke ujung!
Sekarang teknologi dirgantara sudah menghasilkan
pesawat-pesawat penumpang yang bisa terbang dengan kecepatan melebihi kecepatan
suara seperti Concorde, atau pesawat super jumbo double decker (berlantai dua) seperti Airbus A380. Airbus A380
adalah pesawat penumpang terbesar saat ini. Dengan 525 penumpang kelas ekonomi,
Airbus A380 hanya bisa mendarat dan menurunkan/menaikkan penumpang melalui terminal yang sudah didesain
khusus. Sampai saat ini sudah lebih dari 70 perusahaan penerbangan yang membeli
dan menggunakan pesawat berbadan besar ini, termasuk Singapore Airlines dan
Emirates. Entah kapan saya punya kesempatan menikmati terbang dengan Airbus A380.
Pengalaman naik Concorde akan merupakan pengalaman yang
tidak akan terlupakan. Concorde dirancang untuk bisa terbang dengan kecepatan Mach
2, atau duakali kecepatan suara, sehingga jarak London-New York cuma ditempuh
dalam tiga jam. Sewaktu pesawat sudah berada pada ketinggian maksimum, langit
tidak lagi berwarna biru, tapi hitam, dan lengkung bumi akan terlihat
samar-samar di kejauhan. Itu kata paman saya yang pernah naik Concorde. Sayang
Concorde sudah dihentikan operasinya setelah jatuhnya pesawat Concorde di
bandara dekat Paris, 25 Juli 2000, dalam penerbangan dari Paris ke New York.
Concorde juga dianggap tidak environmentally
friendly, serta pemakaian bahan bakar sangat boros. Jadi, terbang dengan
Concorde rupanya tinggal impian belaka.
(Dari berbagai sumber, antara lain dari Wikipedia, the free encyclopedia)
No comments:
Post a Comment