Friday, March 29, 2013

Terbang dengan Concorde


Concorde (Wikipedia)

Naik pesawat terbang memang pengalaman mengasyikan, apalagi naik Concorde!

Saya pertama kali naik pesawat terbang sewaktu tugas ke Flores tahun 1970an. Pesawatnya adalah DC 9 Garuda dengan logo yang lama dan badan pesawat di cat putih bergaris merah. Waktu itu pesawat singgah di Denpasar dan menginap semalam sebelum besoknya terbang ke Ende dengan pesawat yang lebih kecil. Waduh senangnya, apalagi ini adalah untuk pertama kalinya saya mengunjungi Pulau Dewata. DC 9 waktu itu sangat populer, sehingga salah seorang pilot DC 9 Garuda menamai anaknya Daisi Ninawati, mengikuti ejaan DC 9 dalam bahasa Inggeris.

Naik pesawat antar benua dialami sewaktu sekolah ke Belanda dulu. Berangkatnya masih dari Halim Perdanakusuma karena Bandara Soekarno Hatta belum dibangun. Halim adalah bandara internasional sedangkan Kemayoran adalah bandara untuk penerbangan domestik. Naik pesawat dalam perjalanan antar benua saya rasakan amat membosankan, pesawat seakan tidak bergerak, cuma suara mesin pesawat yang terdengar mendengung. Pesawat sempat singgah di Abu Dhabi dan Roma untuk mengisi bahan bakar. Lumayan bisa meluruskan badan, meskipun cuma bisa jalan-jalan di bandara yang lengang karena pas malam menjelang pagi.

Yang saya rasakan paling enak adalah sewaktu dalam perjalanan pulang dari Paris ke Singapur dengan Air France, karena kelasnya di upgrade ke bisnis, sehingga bisa merasakan pelayanan istimewa dengan reclining seat sehingga bisa tidur nyenyak, merasakan nikmatnya jadi orang kaya, meskipun cuma sebentar. 

Naik pesawat Ilyushin saya alami sewaktu melakukan perjalanan ke Moskow. Pesawat buatan Rusia ini mirip DC 9, tapi badannya lebih panjang. Mesin pesawat terasa halus, tapi pelayanannya buruk, buah apel dibagikan kepada para penumpang dengan cara dilempar begitu saja oleh pramugara yang mahal senyum. 

Saya juga pernah naik pesawat dimana hanya saya penumpang satu-satunya. Waktu itu saya terbang dari Balikpapan ke Samarinda, ternyata hanya pilot, operator bandara, dan saya sendiri, serta setumpuk barang pos. Saya senang sewaktu diundang duduk di cockpit di sebelah pilot, sayang penerbangan ini hanya makan waktu 40 menit. Rute ini memang kurang peminat karena ada jalan lewat darat dan feri, meskipun lebih lama, waktu itu belum ada jalan darat yang langsung menuju Samarinda.

Pengalaman buruk saya alami beberapa kali, pertama sewaktu terbang dari Makassar ke Manado, waktu hampir mendarat di Manado, pesawat dihadang hujan lebat disertai petir sehingga pesawat gagal mendarat setelah beberapa kali mencoba landing. Akirnya pesawat kembali ke Makassar.  Pengalaman berikutnya sewaktu singgah Timika di  Papua (waktu itu namanya masih Irian Jaya) dalam perjalanan ke Jayapura. Pesawat DC8 Merpati gagal terbang lagi setelah beberapa kali mencoba. Akhirnya seluruh penumpang diminta turun untuk menginap di hotel terdekat. 

Esok harinya pesawat mencoba lagi terbang, tapi gagal lagi sehingga kami dikembalikan ke hotel yang sama. Malangnya, kamar hotel sudah terisi  penuh, sehingga sepuluh orang harus tidur dalam satu kamar. Akhirnya pada hari ketiga kami bisa menanjutkan perjalanan tapi dengan pesawat lain. Mungkin manfaat yang saya dapatkan dari kejadian itu adalah bahwa selama tiga hari menunggu itu, saya dan penumpang lain, yang kebanyakan perwira TNI yang akan ditugaskan ke Papua, sempat masuk pedalaman Timika dan menikmati indahnya alam Papua.

Pengalaman naik Hercules saya alami sewaktu berangkat ke Maumere dalam rangka misi kemanusiaan pada saat Flores dilanda bencana gempa bumi. Waktu itu pesawat diisi peralatan untuk penanggulangan bencana, sehingga kita semua berdesakan bersama alat berat, pompa air dan generator. Rupanya pesawat tidak dilengkapi alat penyejuk ruangan, sehingga kami sangat kepanasan sewaktu tinggal landas, tapi menggigil kedinginan setelah diatas. 

Mesipun sudah sering melakukan perjalanan dengan pesawat udara, saya tetap merasa terkesan setiap saat pesawat lepas landas. Bayangkan, dengan beban beberapa ton dan ratusan manusia didalamnya, pesawat berbadan lebar seperti Airbus dan Boeing bisa mengangkasa dengan mudahnya. Meskipun logika termodinamika dengan jelas menerangkan kenapa sebuah benda bisa terbang, bagiku penemuan pesawat terbang tetap merupakan kemajuan teknologi yang besar bagi umat manusia. 

Kemajuan dalam teknologi dirgantara memang mengagumkan, padahal baru tahun 1903 Wright bersaudara mencoba melakukan uji terbang pesawat buatan mereka, meskipun cuma bisa mengudara kurang dari satu menit. Jarak yang ditempuh pesawat yang ditumpangi Wright bahkan tidak lebih panjang dari panjang badan pesawat jumbo seperti Airbus dari ujung ke ujung!

Sekarang teknologi dirgantara sudah menghasilkan pesawat-pesawat penumpang yang bisa terbang dengan kecepatan melebihi kecepatan suara seperti Concorde, atau pesawat super jumbo double decker (berlantai dua) seperti Airbus A380. Airbus A380 adalah pesawat penumpang terbesar saat ini. Dengan 525 penumpang kelas ekonomi, Airbus A380 hanya bisa mendarat dan menurunkan/menaikkan  penumpang melalui terminal yang sudah didesain khusus. Sampai saat ini sudah lebih dari 70 perusahaan penerbangan yang membeli dan menggunakan pesawat berbadan besar ini, termasuk Singapore Airlines dan Emirates. Entah kapan saya punya kesempatan menikmati terbang dengan Airbus A380.  

Pengalaman naik Concorde akan merupakan pengalaman yang tidak akan terlupakan. Concorde dirancang untuk bisa terbang dengan kecepatan Mach 2, atau duakali kecepatan suara, sehingga jarak London-New York cuma ditempuh dalam tiga jam. Sewaktu pesawat sudah berada pada ketinggian maksimum, langit tidak lagi berwarna biru, tapi hitam, dan lengkung bumi akan terlihat samar-samar di kejauhan. Itu kata paman saya yang pernah naik Concorde. Sayang Concorde sudah dihentikan operasinya setelah jatuhnya pesawat Concorde di bandara dekat Paris, 25 Juli 2000, dalam penerbangan dari Paris ke New York. Concorde juga dianggap tidak environmentally friendly, serta pemakaian bahan bakar sangat boros. Jadi, terbang dengan Concorde rupanya tinggal impian belaka. 

(Dari berbagai sumber, antara lain dari Wikipedia, the free encyclopedia)

No comments:

Post a Comment