Friday, February 22, 2013

Pengolahan air skala rumah tangga (4)



SARINGAN KERAMIK ALTERNATIF PENGOLAHAN AIR MINUM YANG SEHAT

UNTUK RUMAH TANGGA

Oleh: Ris Sukarma

(Bagian Keempat)



Pengantar



Dalam tulisan sebelumnya telah dijelaskan dampak penggunan perak koloid, penelitian di Kamboja dan proses pembuatan saringan keramik secara lengkap. Dalam tulisan ini akan disampaikan produk saringan keramik Tirta Cupumanik (TCM) produksi Yayasan Tirta Indonesia Mandiri, yang merupakan produk uji coba yang secara berangsur angsur menuju pada produksi secara masal.



SARINGAN KERAMIK TIRTA CUPUMANIK (TCM)



Sebelum melakukan kegiatan pembuatan saringan keramik, Penulis membuat kajian literatur secara cukup mendalam dengan mempelajari sejumlah tesis dan disertasi untuk gelar akademis (S2 dan S3), termasuk diskusi dengan penulis tesis Doris van Halem di TU Delft di Belanda bulan Maret 2008, serta berbagai publikasi ilmiah tentang efektifitas saringan keramik. Kunjungan ke Perkumpulan Tirta Lestari, salah satu produsen saringan keramik di Lembang yang mendapat dukungan dari American Red Cross, dilakukan pada April 2008. Pada saat yang bersamaan, uji coba pembuatan saringan keramik dimulai dengan pengadaan peralatan dan bahan baku dan pembuatan model saringan, yang bekerjasama dengan perajin keramik di Plered. Uji coba berlangsung sepanjang tahun 2008 dan masih berjalan sampai sekarang. Secara paralel, produk masal saringan keramik sudah mulai dilakukan dengan memanfaatkan hasil uji pemeriksaan laboratorium PAM Jaya dan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan (BBTKL). Nama yang dipilih untuk saringan keramik ini adalah Saringan Tirta Cupumanik (TCM).



Sementara itu kajian ilmiah (desk study) terhadap saringan keramik dilakukan secara paralel dan diterbitkan dalam bentuk makalah yang diajukan sebagai bahan presentasi pada Seminar di Singapura bulan Juni 2008 (diterima sebagai poster presentation) dan di Universitas Trisakti bulan Agustus, 2008 (diterima sebagai oral presentation). Makalah ketiga juga diterima sebagai oral presentation pada Seminar Water Malaysia 2009 yang berlangsung akhir Mei 2009. Dua makalah berikutnya diikutsertakan dan dipresentasikan dalam Seminar Ilmiah Tahunan IATPI di Universitas Diponegoro, Semarang, bulan Agustus 1009 dan dalam Konferensi Sustainable Infrastructure Built Environment (SIBE) di ITB bulan November 2009.



Pembutan saringan keramik pada dasarnya bisa dilakukan oleh siapa saja, karena produk saringan keramik merupakan produk yang bersifat public domain. Tentu saja pembuatannya harus mengikuti persyaratan-persyaratan teknis tertentu, agar hasilnya bisa dipertanggung jawabkan secara teknis maupun secara sosial. Yayasan Tirta Indonesia memproduksi saringan keramik TCM  dengan mengacu pada buku panduan yang dikeluarkan oleh RDI, yang berjudul Ceramic Water Filter Handbook, Juni 2008. Bahan acuan lainnya adalah informasi dari Potter for Peace.



Diskusi mendalam pernah dilakukan penulis bulan Januari 2008 dengan Husein Wirahadikusumah, penggagas saringan keramik yang diproduksi BPLHD DKI Jakarta. Dari hasil pembicaraan tersebut, saringan BPLHD menggunakan jenis yang berbeda, yaitu tipe lilin atau candle type, sedangkan jenis yang digunakan oleh RDI dan PfP adalah tipe pot atau pot type. Perbedaannya terletak pada prosesnya dimana air meresap kedalam bahan keramik secara terbalik (lihat Gambar 1). Tabel 1 memperlihatkan kelebihan dan kekurangan dari kedua jenis saringan tersebut.

Gambar 1 Proses penyaringan pada tipe pot



Tabel 1. Perbandingan antara candle type dan pot type        

Parameter  yang dibandingkan
Tipe lilin (candle type)
Tipe pot (pot type)
Bentuk dan dinding saringan
Dinding tebal dan ukuran relatif lebih kecil sehingga tidak mudah pecah dalam pengangkutan
Dinding agak tipis dan ukuran relatif lebih besar, sehingga mudah pecah dalam pengangkutan
Kecepatan penyaringan
Relatif lebih lambat dari pot type
1,5-2,5 liter/jam
Proses aliran
Dari “luar” ke “dalam”, kemungkinan terjadi kebocoran aliran apabila seal tidak baik
Dari “dalam” ke “luar”, tidak ada kemungkinan kebocoran kecuali apabila retak
Pewadahan
Diperlukan dua wadah, untuk penampung air baku dan penampung air saringan
Diperlukan satu wadah penampung air saringan, pot itu sendiri berfungsi sebagai penampung air baku



Semua informasi yang dikumpulkan mengenai saringan keramik digunakan sebagai acuan pada saat pembuatan bengkel kecil dilaksanakan sekitar bulan Juni 2008 di Purwakarta, Jawa Barat. Lokasi ini dekat dengan Plered, lokasi perajin keramik dimana lempung didapatkan dengan mudah. Demikian pula bahan pengisi berupa sekam padi, ditemukan melimpah di sekitarnya yang merupakan daerah lumbung padi. Alternatif lainnya untuk bahan pengisi adalah serbuk gergaji.



Untuk memproduksi saringan keramik, digunakan peralatan sebagai berikut: mesin penepung, mesin pencampur, keduanya digerakkan dengan motor, dan cetakan (mold). Pertama-tama, lempung kering yang sudah ditumbuk dihaluskan dengan mesin penepung, demikian juga dengan bahan pengisi. Lempung dan bahan pengisi yang sudah halus dicampur dengan air dan diaduk dalam mesin pencampur. Hasilnya berupa campuran lempung yang lunak, yang  dipres dalam cetakan, sehingga hasil akhirnya berupa keramik berbentuk pot. Setelah dikeringkan selama beberapa hari pot dibakar dengan suhu diatas 980 derajat Celsius sehingga bahan pengisi terbakar sempurna, dan didapatkan porositas yang diinginkan, yaitu diameter 0,2 – 3 μm (mikron). Dengan ukuran sebesar ini hampir semua jenis bakteri bisa tersaring. Gambar 2 memperlihatkan ukuran relatif sel dan mikroorganisme, dibandingkan dengan ukuran rambut manusia.





Gambar 2. Ukuran relatif sel dan mikroorganisme (Brown, J. 2002)



Komposisi lempung dan bahan pengisi dan pemilihan bahan pengisi yang tepat amat menentukan mutu saringan yang dihasilkan. Komposisi yang umum digunakan adalah antara 75:25 sampai 80:20 (75-80% lempung, 25-20% bahan pengisi). Demikian pula pemilihan antara sekam (kulit padi) dan dedak padi sebagai bahan pengisi. Pada uji coba sebelumnya, dedak padi dipilih karena tidak memerlukan penepungan lagi. Ternyata penggunaan dedak padi menghasilkan pot yang tidak stabil dengan penyusutan yang terlalu besar, diluar batas toleransi penyusutan sebesar 7%. Penyusutan terjadi setelah pot dibakar pada suhu sekitar 9800 Celsius. Pembakaran dilakukan menggunakan tungku pembakar gas di salah satu perajin keramik di Plered. Penggunaan dedak padi ternyata juga menghasilkan porositas yang terlalu kecil, meskipun komposisi dibuat mendekati 70:30.

(Bersambung)

No comments:

Post a Comment