Oleh: Ris Sukarma
Deep Tunnel (pinoydigest.com/Tempo online) |
Isu pembangunan
multi-purpose deep tunnel atau terowongan
raksasa multiguna di Jakarta kembali muncul. Apalagi setelah banjir
besar kembali melanda Jakarta pertengahan Januari yang lalu, dan Gubernur Jokowi
kelihatannya tertarik dengan konsep ini dan memutuskan untuk segera membangunnya.
Deep tunnel sebenarnya bukan barang baru. Konsep ini pernah
menarik perhatian Bang Yos pada pada 2007, yang waktu itu dipaparkan oleh Badan
Regulator Jakarta. Pada waktu era kepemimpinan Bang Foke, gagasan ini juga
pernah dibahas berkali-kali, tapi masih tetap sebatas wacana, Foke sendiri yang
mengatakannya pada waktu itu. Peran Dr. Firdaus Ali, yang merupakan penggagas utama,
amat besar dalam pengenalan konsep ini, bukan saja karena dia mendalami konsep dan teknologinya, akan tetapi juga dia meyakini benar bahwa gagasannya itu layak dan
pantas untuk dilaksanakan. “Kita
menerapkan ini, berarti lompatan 100 langkah ke depan dibanding negara-negara
lain.” ujar Firdaus sebagimana dikatakannya pada Tempo, 13 Januari 2013 yang
lalu.
Meskipun
sekarang Gubernur Jokowi sudah mencanangkan akan membangunnya, terowongan
raksasa ini tetap mengundang kontroversi, baik dari fihak yang mendukungnya,
maupun menentangnya. Deep tunnel
memang memiliki beberapa keuntungan. Pertama, karena dibangun jauh dibawah tanah, maka isu pembebasan tanah
menjadi tidak ada. Selain itu, deep
tunnel yang akan dibangun di Jakarta dirancang memiliki lima fungsi
sekaligus, bandingkan dengan SMART
tunnel-nya Malaysia yang hanya memiliki dua fungsi. Ke lima fungsi tersebut
adalah sebagai pengendali banjir, jalan tol, sistem utilitas kota, pembuangan
limbah kota dan terowongan air bawah tanah. Dengan perkiraan biaya sebesar 16,4
trilun rupiah, pembangunan deep tunnel
masih lebih murah dibandingkan kerugian finansial akibat banjir, yang bisa
mencapai puluhan trilyun rupiah, belum lagi kerugian sosial dan penderitaan
masyarakat yang terkena dampak banjir.
Bagi fihak-fihak
yang menentangnya, pembangunan deep
tunnel memang dirasakan perlu, tapi tidak sekarang. Menurut pengamat transportasi
Darmaningtyas, pembangunan deep tunnel
saat ini belum diperlukan. Ada
cara sederhana untuk menyelesaikan persoalan banjir di Jakarta yakni seperti
melakukan revitalisasi sungai dengan mengeruk tanahnya, katanya sebagaimana
dikutip Okezone (6/1). Namun, tidak berarti dia tidak setuju, pembangunan itu
bisa dilakukan setelah revitalisasi dilakukan dan terbukti memang tidak bisa
mengatasai banjir.
Amien
Widodo dari LPPM ITS mengatakan, pembangunan deep tunnel sebagai pengendali banjir di Jakarta akan gagal apabila
penyebab utama masalah banjir, seperti sedimentasi dan pembuangan sampah
sembarangan belum teratasi. Bahkan dia mengatakan deep tunnel akan menciptakan masalah baru. Hal ini dikatakannya
pada Kantor Berita Antara hari Kamis minggu lalu (21/2).
Hari ini
(Selasa 26/2), Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, sebagaimana dikutip
detik.com, menyatakan
bahwa sulit membangun terowongan raksasa di Jakarta. Kesulitannya terletak pada
jenis tanah di beberapa bagian di Jakarta yang lembek (soft) sebagaimana hasil penelitian para ahli geologi.
Sebenarnya,
bagaimana sih prospek pembangunan deep tunnel ini? Apakah benar-benar akan
dibangun, atau kembali mundur lagi jadi wacana? Secara pribadi, saya setuju deep tunnel ini dibangun, lebih cepat
lebih baik, tapi dengan beberapa catatan yang akan saya sampaikan pada akhir tulisan ini.
Saya kebetulan
ketemu Firdaus Ali pertengahan Januari lalu di Pameran PERPAMSI di
Jakarta, dan saya sekilas menyinggung hal ini. Dia katakan baru ketemu Menteri PU dan jajarannya dari Ditjen Sumber Daya Air, dimana dia ‘diserang’
dari semua penjuru. Saya terus terang ikut bangga juga, teman kita TL lulusan
1988 ini barangkali satu-satunya orang yang berani berfikir jauh kedepan, dan
konsisten memperjuangkan apa yang menjadi keyakinannya. Dengan modal
pengetahuannya yang dia peroleh dari Universitas Wisconsin, AS (S2 tahun 1998
dan S3 tahun 2002), dia mencoba ‘melawan arus’ dengan menyodorkan solusi yang
tidak umum dikenal atau dilakukan oleh para pakar air konvensional. Pengendalian
banjir, bagi para pakar konvensional adalah tentang normalisasi kali, sodetan,
kolam retensi, pengerukan, pembuatan kanal banjir dan sebagainya. Deep tunnel memang
suatu terobosan, dan ini patut dihargai, apalagi bila berfungsi ganda.
Pandangan jauh
kedepan perlu dimiliki para pemikir dan pemimpin bangsa ini. Seperti gagasan
Bung Karno untuk memindahkan ibukota RI ke Palangkaraya misalnya, atau membangun
jembatan Selat Sunda yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera. Semua
itu tidak perlu dibangun segera, tapi paling tidak gagasan-gagasan besar harus selalu
muncul, dan sejarahlah nanti yang akan membuktikannya, apakah gagasan-gagasan
besar tersebut nantinya bisa terlaksana. Dan terutama bisa membawa
kesejahteraan kepada bangasanya.
Kembali kepada deep tunnel dan masalah banjir di
Jakarta, dalam tulisan saya di Kompasiana (3 Desember 2009: http://sosbud.kompasiana.com/2009/12/03/kenapa-jakarta-selalu-kebanjiran/) solusi yang saya tawarkan hanya dua. Yang pertama, pemeliharaan sarana pengendalian
banjir secara berkala, dan yang kedua adalah agar kita semua berfihak kepada
yang benar dan hak (silakan baca tulisan saya untuk lebih jelasnya). Sederhana bukan?
Saya jamin Jakarta bebas banjir apabila dua hal itu dilakukan, dan itu bisa
dilakukan, tapi saya tidak bisa menjamin bahwa kedua hal itu mau dilakukan.
Sebagai contoh untuk kasus yang pertama, di tempat saya tinggal kebetulan ada proyek
uji coba pembuatan kolam retensi (lihat selengkapnya dalam tulisan saya di
Kompasiana berikut ini, 19 Maret 2010: http://teknologi.kompasiana.com/internet/2010/03/19/menabung-air-mencegah-banjir-97849.html).
Karena sarana yang sudah dibangun tidak dipelihara dengan baik, maka pada waktu
banjir awal 2013 yang lalu, kompleks perumahan dimana saya tinggal kembali
kebanjiran, bahkan lebih parah dari tahun 2007 yang lalu, meskipun tidak
terlalu lama.
Atas
pertimbangan itulah, saya setuju dengan pembangunan deep tunnel, dengan beberapa catatan. Pertama, paradigma kita dalam
dalam fiosofi membangun kita ubah dulu. Kita tidak hanya membangun, tapi
memelihara apa yang sudah kita bangun. Kedua, kita membangun dengan
keberfihakan kita kepada yang benar dan hak. Saya percaya bahwa masalah
teknologi dapat diatasi. Saya juga yakin bahwa dana dalam jumlah besar bisa
disediakan. Tapi terus terang saya belum merasa yakin bahwa paradigma dalam
filosofi pembangunan kita bisa diubah dalam waktu singkat.
Deep tunnel, dibangun atau tidak, saya cuma berharap masih punya
sisa umur untuk menikmati Jakarta yang bebas banjir (dan bebas macet!).