Friday, February 22, 2013

Kurikulum 2013 absurd?



Oleh: Ris Sukarma
 
Membaca Kompas hari ini (22/2/13) yang memuat tulisan L. Wilardjo dengan judul “Yang Indah dan yang Absurd” (http://cetak.kompas.com/read/2013/02/22/02211740/yang.indah.dan.yang.absurd) saya merasa tersentak. 

Tulisan itu bicara tentang Kurikulum 2013 yang ternyata jauh dari harapan banyak orang, terutama kalangan yang merasa bertanggung jawab dengan nasib anak didik kita beberapa tahun mendatang. Harian ini, pada hari yang sama,  juga memuat tulisan Aburizal Bakrie tentang hal yang sama, yaitu keprihatinannya atas nasib bangsa ini, dimana Kurikulum 2013 akan melahirkan generasi emas tahun 2045, tepat 100 tahun kemerdekaan Indonesia (http://cetak.kompas.com/read/2013/02/22/02283374/kurikulum.2013.dan.generasi.emas).


Sebagai orang awan yang tidak tahu banyak tentang Kurikulum 2013 tersebut, saya teringat betapa waktu duduk di bangku SMA tahun 1960-an dulu, guru sekolah saya yang bernama Pak Hermia, yang  mengajar ilmu ukur sudut, memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada siswa untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya. Tidak sampai disitu, dia bahkan membuka les tambahan pada hari libur bagi siswa yang ingin memperdalam ilmunya, tanpa meminta imbalan sama sekali. Disitulah kami biasanya berdiskusi dan beradu pendapat sehingga kita semua merasa puas. 


Pengalaman serupa saya dapatkan sewaktu saya melanjutkan studi di Delft, Negeri Belanda  tahun 1979. Prof. Vruijt memberikan pelajaran matematika dengan begitu memikat. “The beauty of mathematics” adalah entry point yang dia gunakan dalam menjelaskan model-model matematika yang cukup rumit. Matematika adalah ilmu yang menjadi dasar pelajaran hidrolika, yang merupakan salah satu mata pelajaran pokok yang saya ikuti. Dia selalu membuka kesempatan untuk diskusi dan beradu argumen, sehingga kami tidak sekedar menerima argumen yang disodorkan, tapi juga mencoba untuk mengujinya, dan ini melatih kita untuk selalu berfikir kritis. 


Dua penggal pengalaman diatas memperlihatkan bagaimana seorang pendidik bisa menggiring anak didiknya untuk menjadi manusia yang kritis, bukan manusia robot yang hanya mengikuti apa yang diajarkan oleh seorang pendidik.


Dalam tulisannya, Liek Wilardjo menceritakan surat elektronik yang ia terima dari temannya, seorang fellow di Triple AS, American Association for the Advancement of Science. Katanya Kurikulum 2013 dianggapnya tidak menampung keinginan tahu, pembentukan sikap kritis, kecuali menurut. Contoh yang dia berikan antara lain dari adagium pengajaran kimia. Bau kimianya disemprotkan dengan nasehat agar siswa meniru sifat dan perilaku elektron-elektron yang berada dalam dan merupakan bagian dari atom/molekul.  Padahal, katanya lagi, elektron-elektron dalam atom atau molekul tersebut bersikap adem-ayem dan nyaman dalam kesendiriannya. Mereka cuek terhadap liyan. Apakah sifat dingin dan tak pedulian macam itu patut ditiru dalam persrawungan kita di masyarakat, katanya seperti yang dikutip dalam tulisan Wilardjo.


Semoga saja para pengambil keputusan di Kementerian terkait membaca dan memahami masalah yang sedang dihadapi dalam penyusunan Kurikulum 2013 tersebut dan sempat mengoreksinya sebelum terlambat. Bagaimana jadinya manusia Indonesia pada saat merayakan kemerdekaannya yang ke seratus pada tahun 2045 nanti, apabila Kurikulum 2013 dibiarkan seperti sekarang ini?


No comments:

Post a Comment