SARINGAN
KERAMIK ALTERNATIF PENGOLAHAN AIR MINUM YANG SEHAT
UNTUK RUMAH TANGGA
Oleh: Ris Sukarma
(Bagian Keempat)
Pengantar
Dalam tulisan sebelumnya telah dijelaskan dampak
penggunan perak koloid, penelitian di Kamboja dan proses pembuatan saringan
keramik secara lengkap. Dalam tulisan
ini akan disampaikan produk saringan keramik Tirta Cupumanik (TCM) produksi
Yayasan Tirta Indonesia Mandiri, yang merupakan produk uji coba yang secara
berangsur angsur menuju pada produksi secara masal.
SARINGAN KERAMIK TIRTA
CUPUMANIK (TCM)
Sebelum melakukan
kegiatan pembuatan saringan keramik, Penulis membuat kajian literatur secara cukup
mendalam dengan mempelajari sejumlah tesis dan disertasi untuk gelar akademis
(S2 dan S3), termasuk diskusi dengan penulis tesis Doris van Halem di TU Delft
di Belanda bulan Maret 2008, serta berbagai publikasi ilmiah tentang
efektifitas saringan keramik. Kunjungan ke Perkumpulan Tirta Lestari, salah
satu produsen saringan keramik di Lembang yang mendapat dukungan dari American Red Cross, dilakukan pada April
2008. Pada saat yang bersamaan, uji coba pembuatan saringan keramik dimulai
dengan pengadaan peralatan dan bahan baku dan pembuatan model saringan, yang
bekerjasama dengan perajin keramik di Plered. Uji coba berlangsung sepanjang
tahun 2008 dan masih berjalan sampai sekarang. Secara paralel, produk masal
saringan keramik sudah mulai dilakukan dengan memanfaatkan hasil uji pemeriksaan
laboratorium PAM Jaya dan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan (BBTKL). Nama
yang dipilih untuk saringan keramik ini adalah Saringan Tirta Cupumanik (TCM).
Sementara itu kajian
ilmiah (desk study) terhadap saringan
keramik dilakukan secara paralel dan diterbitkan dalam bentuk makalah yang
diajukan sebagai bahan presentasi pada Seminar di Singapura bulan Juni 2008
(diterima sebagai poster presentation)
dan di Universitas Trisakti bulan Agustus, 2008 (diterima sebagai oral presentation). Makalah ketiga juga diterima
sebagai oral presentation pada Seminar
Water Malaysia 2009 yang berlangsung akhir Mei 2009. Dua makalah berikutnya
diikutsertakan dan dipresentasikan dalam Seminar Ilmiah Tahunan IATPI di
Universitas Diponegoro, Semarang, bulan Agustus 1009 dan dalam Konferensi
Sustainable Infrastructure Built Environment (SIBE) di ITB bulan November 2009.
Pembutan saringan keramik pada
dasarnya bisa dilakukan oleh siapa saja, karena produk saringan keramik
merupakan produk yang bersifat public
domain. Tentu saja pembuatannya harus mengikuti persyaratan-persyaratan
teknis tertentu, agar hasilnya bisa dipertanggung jawabkan secara teknis maupun
secara sosial. Yayasan Tirta Indonesia memproduksi saringan keramik TCM dengan mengacu pada buku panduan yang
dikeluarkan oleh RDI, yang berjudul Ceramic
Water Filter Handbook, Juni 2008. Bahan
acuan lainnya adalah informasi dari Potter
for Peace.
Diskusi mendalam pernah dilakukan penulis
bulan Januari 2008 dengan Husein Wirahadikusumah, penggagas saringan keramik
yang diproduksi BPLHD DKI Jakarta. Dari hasil pembicaraan tersebut, saringan
BPLHD menggunakan jenis yang berbeda, yaitu tipe lilin atau candle type, sedangkan jenis yang
digunakan oleh RDI dan PfP adalah tipe pot atau pot type. Perbedaannya terletak pada prosesnya dimana air meresap
kedalam bahan keramik secara terbalik (lihat Gambar 1). Tabel 1 memperlihatkan
kelebihan dan kekurangan dari kedua jenis saringan tersebut.
Tabel 1. Perbandingan antara
candle type dan pot type
Parameter yang dibandingkan
|
Tipe lilin
(candle type)
|
Tipe pot (pot
type)
|
Bentuk dan
dinding saringan
|
Dinding tebal
dan ukuran relatif
lebih kecil sehingga tidak mudah pecah dalam pengangkutan
|
Dinding
agak tipis dan ukuran relatif lebih besar, sehingga mudah pecah dalam pengangkutan
|
Kecepatan
penyaringan
|
Relatif lebih
lambat dari pot type
|
1,5-2,5
liter/jam
|
Proses
aliran
|
Dari
“luar” ke “dalam”, kemungkinan terjadi kebocoran aliran apabila seal tidak baik
|
Dari
“dalam” ke “luar”, tidak ada kemungkinan kebocoran kecuali apabila retak
|
Pewadahan
|
Diperlukan
dua wadah, untuk penampung air baku
dan penampung air saringan
|
Diperlukan
satu wadah penampung air saringan, pot itu sendiri berfungsi sebagai
penampung air baku
|
Semua informasi yang
dikumpulkan mengenai saringan keramik digunakan sebagai acuan pada saat
pembuatan bengkel kecil dilaksanakan sekitar bulan Juni 2008 di Purwakarta,
Jawa Barat. Lokasi ini
dekat dengan Plered, lokasi perajin keramik dimana lempung didapatkan dengan
mudah. Demikian pula bahan pengisi berupa sekam padi, ditemukan melimpah di
sekitarnya yang merupakan daerah lumbung padi. Alternatif lainnya untuk bahan
pengisi adalah serbuk gergaji.
Untuk memproduksi saringan keramik, digunakan
peralatan sebagai berikut: mesin penepung, mesin pencampur, keduanya digerakkan
dengan motor, dan cetakan (mold). Pertama-tama,
lempung kering yang sudah ditumbuk dihaluskan dengan mesin penepung, demikian
juga dengan bahan pengisi. Lempung dan bahan pengisi yang sudah halus dicampur
dengan air dan diaduk dalam mesin pencampur. Hasilnya berupa campuran lempung
yang lunak, yang dipres dalam cetakan,
sehingga hasil akhirnya berupa keramik berbentuk pot. Setelah dikeringkan
selama beberapa hari pot dibakar dengan suhu diatas 980 derajat Celsius
sehingga bahan pengisi terbakar sempurna, dan didapatkan porositas yang
diinginkan, yaitu diameter 0,2 – 3 μm (mikron). Dengan
ukuran sebesar ini hampir semua jenis bakteri bisa tersaring. Gambar 2
memperlihatkan ukuran relatif sel dan mikroorganisme, dibandingkan dengan
ukuran rambut manusia.
Gambar 2. Ukuran relatif sel
dan mikroorganisme (Brown, J. 2002)
Komposisi lempung dan bahan pengisi dan pemilihan
bahan pengisi yang tepat amat menentukan mutu saringan yang dihasilkan. Komposisi
yang umum digunakan adalah antara 75:25 sampai 80:20 (75-80% lempung, 25-20%
bahan pengisi). Demikian pula pemilihan antara sekam (kulit padi) dan dedak
padi sebagai bahan pengisi. Pada uji coba sebelumnya, dedak padi dipilih karena tidak memerlukan
penepungan lagi. Ternyata penggunaan dedak padi menghasilkan pot yang tidak
stabil dengan penyusutan yang terlalu besar, diluar batas toleransi penyusutan
sebesar 7%. Penyusutan terjadi setelah pot dibakar pada suhu sekitar 9800
Celsius. Pembakaran dilakukan menggunakan tungku pembakar gas di salah satu
perajin keramik di Plered. Penggunaan dedak padi ternyata juga menghasilkan
porositas yang terlalu kecil, meskipun komposisi dibuat mendekati 70:30.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment